Jakarta – Agenda hajat demokrasi bangsa Indonesia pasca Pilpres dan Pileg 2024 adalah gelaran Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 di 38 Provinsi dan 514 Kabupaten/Kota.
Erik Kurniawan Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menilai bahwa agenda ini merupakan pengalaman pertama setelah empat gelombang Pilkada Serentak pada 2015, 2017, 2018, dan 2020, namun disamping itu juga terdapat beberapa hal yang perlu diamati dan menjadi refleksi bagi stakeholder terkait dalam melakukan pemetaan awal atas potensi kerawanan pada Pilkada Serentak 2024.
Menurut Erik Kurniawan setidaknya ada empat hal yang bisa dijadikan variabel yang menyumbang potensi timbulnya kerawanan dalam penyelenggaaan Pilkada serentak.
“Yang pertama adalah jumlah pemilih dimana besarnya jumlah pemilih akan menjadi satu potensi kerawanan jika tidak dikelola dengan baik oleh penyelenggara pemilu dan peserta pemilu sehingga akan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam tahapan Pilkada.” ungkapnya.
Variabel kedua adalah tingkat kompetisi antar aktor politik yang akan bertarung, dimana gelaran Pilkada Serentak 2024 tidak bisa terlepas dari “iklim kompetisi” yang terjadi pada Pemilu 2024 terutama kompetisi dalam Pemilihan Presiden.
“Hal ini terjadi karena belum selesainya konsolidasi 2 kekuatan politik, sampai saat ini belum jelas partai mana saja yang akan bergabung menjadi koalisi dan yang akan menjadi oposisi. Kedua, jeda waktu yang hanya delapan bulan antara Pilpres dan Pilkada.” ujarnya.
Lanjut Erik, variabel ketiga yaitu politik uang, dimana tingkat kompetisi yang tinggi secara linier akan berpengaruh terhadap potensi tingginya praktik politik uang..
“Yang terakhir, variabel keempat adalah manajemen logistik pemilu.” tandasnya.
Oleh sebab itulah maka Erik Kurniawan berharap lembaga penyelenggara pemilu dapat bekerja lebih baik dalam merefleksikan setiap pengalaman dalam pelaksanaan hajat demokrasi bangsa, agar dapat mewujudkan wajah demokrasi bangsa Indonesia lebih baik kedepannya.